Cerdas! BRIN ciptakan plastik biodegradable dengan cara rekayasa

Plastik di industri masih diproduksi melalui proses gabungan antara fermentasi dan sintesis kimia menggunakan bahan baku berbasis fosil.

Hendrik Syahputra
A- A+
Hasil rekayasa plastik dengan metabolisme ragi | foto: @brin
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola sampah plastik yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai salah satu negara dengan jumlah sampah plastik terbesar di dunia, kebutuhan akan solusi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan menjadi sangat mendesak. 

Lantas, bagaimana cara kerjanya? Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Radityo Pangestu memiliki solusi cerdas untuk menciptakan plastik yang lebih ramah lingkungan. Yaitu, dengan merekayasa metabolisme ragi untuk memproduksi plastik biodegradable berbasis asam polilaktat (PLA).

Menurutnya, saat ini, plastik di industri masih diproduksi melalui proses gabungan antara fermentasi dan sintesis kimia menggunakan bahan baku berbasis fosil.

Untuk menciptakan industri plastik yang berkelanjutan, diperlukan transisi ke komoditas plastik ‘3Bio’, yakni plastik yang ‘biodegradable’, berbahan baku berbasis ‘bio’ (contohnya dari limbah pertanian dan industri), dan diproduksi melalui teknik ‘bioproses’ menggunakan bantuan mikroba.
"Inilah yang menjadi fokus penelitian kami, yakni menemukan metode untuk mensintesis plastik biodegradable dari bio-based raw material dengan teknologi bioproses hemat energi dan minim limbah, melalui bantuan mikroorganisme," jelas Radityo, pada Friday Scientific Sharing Seminar, dikutip Minggu (16/6/2024).
Doktor lulusan Kobe University Jepang tahun 2024 tersebut menjelaskan, salah satu yeast (ragi roti) yang dikoleksi Indonesia Culture Collection (InaCC) BRIN, yaitu Saccharomyces cerevisiae, ternyata menyimpan potensi untuk menghasilkan plastik biodegradable melalui rekayasa genetika.

Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Radityo Pangestu, memaparkan sistem kerjanya. | foto: @brin
"Material plastik yang tergolong biodegradable ada dua, yaitu polihidroksi alkanoat (PHA), yang saat ini telah dapat disintesis secara optimal oleh mikroorganisme, dan asam polilaktat (PLA), yang masuk kategori semi-sintesis," ungkapnya.

PLA menjadi fokus penelitian Radityo untuk dapat diproduksi secara keseluruhan oleh mikroorganisme tanpa melibatkan proses sintesis kimia.

Dia menambahkan, PLA telah banyak diaplikasikan untuk berbagai jenis produk, termasuk alat-alat medis, karena tidak berbahaya bagi tubuh. Contoh dari produk berbasis PLA adalah tissue scaffold, masker, serat fiber, dan popok.

Dengan metode one-step production ini, Radityo meyakini dapat mengonversi bahan baku limbah industri berbasis lignoselulosa menjadi PLA, dengan cara memasukkan beberapa gen bakteri ke dalam genom ragi. Diantaranya gen propionat CoA-transferase dan polimerase.

 "Jika dilihat, proses dari metode ini jauh lebih singkat dalam mengubah bahan baku menjadi polimer target hanya dalam satu tahap fermentasi pada suhu ruangan. Tentunya lebih efisien dibandingkan reaksi polimerisasi biasa yang membutuhkan suhu di atas 100 derajat celsius dan melibatkan penggunaan katalis logam yang berbahaya bagi lingkungan," jelasnya.

Menurut Radityo, hingga kini, teknik produksi PLA secara in vivo masih kurang dieksplorasi dibandingkan PHA. Riset-riset yang ada pun masih sangat terfokus pada sistem bakteri. Selain itu, belum ada laporan yang mengeksplorasi produksi PLA berbasis monomer L-laktat (PLLA) secara in vivo.

"Melalui riset ini, kami telah berhasil mendesain metabolisme ragi agar dapat memproduksi monomer asam L-laktat maupun polimer targetnya (PLLA)," ungkapnya.

Radityo meyakini, teknik ini dapat menciptakan keberlanjutan di industri plastik, karena memiliki potensi untuk dapat memproduksi bioplastik yang bukan berasal dari bahan baku berbasis fosil melalui teknologi produksi ramah lingkungan.

“Metode ini masih belum banyak dikaji, karena publikasi yang membahasnya masih sedikit. Publikasi pertama yang membahas metode ini terbit tahun 2008 dan setelah itu tidak terlalu banyak dikaji hingga saat ini,” terangnya.

"Mayoritas berfokus pada bakteri. Padahal banyak sekali potensi yeast yang dapat digali," terang Radityo. 
Apakah konten ini bermanfaat?
Dukung dengan memberikan satu kali kontribusi.

Share:
Berbasis data.
Paling diminati.

News Terkini
Lihat semua
Komentar
Login ke akun RO untuk melihat dan berkomentar.

Terkini

Indeks