Sampah plastik, berkah atau kutukan untuk Indonesia?

Di Indonesia, sampah air minum kemasan gelas dan botol termasuk yang berkontribusi signifikan pada polusi sampah plastik.

Hendrik Syahputra
A- A+
cover | topik.id


Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20) untuk pertama kalinya, forum kerja sama 20 Ekonomi utama dunia, pada minggu pertama bulan November 2022 ini akan digelar pertemuan besar untuk penanganan sampah di laut dengan memanfaatkan momentum Presidensi G20 Indonesia. 

Pemerintah Indonesia akan menggandeng National Plastic Action Partnership (NPAP) untuk menunjukkan bahwa kemitraan dengan komitmen yang kuat itu bisa menunjukkan hasil yang lebih baik. 

Sebagai lokasi penyelenggaraan G20, sampah di Provinsi Bali akan menjadi prioritas untuk ditangani.

"Kita bersemangat untuk menyiapkan Bali yang lebih bersih dan sehat untuk menyambut kembali para turis dari dalam maupun luar negeri," kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti dalam konferensi pers 'Penanganan Sampah Laut dari Bali untuk Dunia' yang digelar di Jakarta, Rabu, (26/10/2022) lalu.

Pertemuan itu disiapkan secara khusus untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak hanya berjanji, tidak hanya membuat rencana aksi, tapi juga melakukannya. Meskipun memang masih perlu ditingkatkan dengan memperkuat kolaborasi.

Nani mengutarakan, sampah plastik merupakan isu global yang lintas batas, karena jika dilihat, sampah plastik di laut tidak hanya berdampak pada perairan, melainkan juga ekosistem yang ada di perairan. 

Selain itu, karena adanya sumber daya ikan di perairan yang juga dikonsumsi manusia, maka sampah plastik di laut juga mengancam kesehatan manusia.

"Jadi, dari data riset ini sudah kita ketahui bahwa di seluruh dunia ini hampir 10 juta metrik ton sampah dibuang ke laut setiap tahunnya. Dan 10 persen itu berdampak pada penyebaran yang lintas batas," ungkap Nani.
Untuk Indonesia sendiri, tambahnya, riset yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa sampah plastik yang bocor ke laut berkisar 0,27 - 0-59 juta ton per tahun. 

Dalam sebuah seminar, Perwakilan Uni Eropa untuk Indonesia, Seth van Doorn mengatakan, aneka sampah plastik mengancam perairan laut.

“Sekitar 60 sampai dengan 90 persen dari sampah yang tercecer di laut adalah sampah plastik, utamanya sedotan plastik, minuman gelas dan kantong plastik," katanya dalam sesi Dialog Nasional Pengurangan Sampah oleh Produsen di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lantas apa dampaknya untuk ekonomi, lingkungan dan kesehatan?

Di Indonesia, sampah air minum kemasan gelas dan botol termasuk yang berkontribusi signifikan pada polusi sampah plastik di laut. 

Nyatanya, air minum kemasan gelas mencapai 10,4 miliar kemasan gelas setiap tahunnya dengan timbulan sampah 46 ribu ton, atau hampir sepertiga dari total timbulan sampah industri air kemasan bermerek. 
[cut]
cover | topik.id

Jumlah timbulan sampah itu belum menghitung timbulan sampah sedotan plastik, komponen dalam penjualan air minum gelas, yang notabene lebih mudah tercecer di lingkungan.

Data juga menunjukkan produksi air kemasan botol sekali pakai mencapai 5,5 miliar botol per tahun dengan volume sampah sebesar 83 ribu ton, atau hampir separuh timbulan sampah plastik industri air kemasan bermerek. 

Kendati begitu Indonesia mempunyai target, yang tertuang dalam Rencana Aksi Sampah Laut dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) nomor 83 tahun 2018.

Berdasarkan perpres itu, Indonesia telah menyusun lima strategi dalam Rencana Aksi Nasional (RAN). 

Kelimanya, antara lain, melalui gerakan nasional peningkatan kesadaran para pemangku kepentingan, pengelolaan sampah yang bersumber dari darat, serta penanggulan sampah di pesisir dan laut.

Pemerintah Indonesia juga akan membuat mekanisme pendanaan, penguatan kelembagaan, pengawasan, dan penegakan hukum, serta melakukan penelitian dan pengembangan. 

Nani juga menambahkan, selama tiga tahun ini Indonesia berhasil mengurangi sampah sebesar 28,5 persen.

Walaupun masih jauh dari target pada 2025, yaitu 70 persen, pihaknya optimis tantangan itu bisa diselesaikan hingga dapat mengejar percepatan penyelesaian targetnya di 2025. 
[cut]
cover | topik.id

Sementara itu, keterangan dari Chairwoman National Plastic Action Partneship (NPAP) Tuti Hadiputranto dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa dari data yang ada, ekosistem penanganan sampah di laut itu sudah kian pesat di kota-kota besar, demikian juga di kota-kota sedang.

"Tetapi di kota-kota kecil dan kampung-kampung, itu masih kurang. Karena ekosistemnya yang belum terbentuk," bebernya.
Tuti menegaskan, jika masalah sampah di laut terutama plastik yang tidak diselesaikan maka di kemudian hari akan menimbulkan masalah yang lebih besar. 

"Ikan itu makannya jadi sampah plastik, bahkan ada riset terbaru bahwa mikro plastik itu akan mengganggu kesehatan manusia, sebab ikan-ikan Indonesia yang diekspor itu jika banyak makan mikro plastik, maka akan mengancam kesehatan manusia," tegasnya.

Menurut Tuti, setidaknya ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah plastik, yakni melalui reduce, substitute, collect, dispose, dan recycle. 

"Kita ingin mengganti plastik dengan barang lain yang lebih ramah lingkungan, memiliki nilai yang lebih baik, intinya harus ada inovasi dan terus berkolaborasi agar sampah plastik itu berkurang," tegasnya.

Mengenai pengelolaan sampah ini menjadi perhatian serius pemerintahan Presiden Joko Widodo.  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun turun tangan ikut serta memastikan pengelolaan sampah. 

Tito menyebut empat kabupaten/kota di Bali, yaitu Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan menjadi daerah fokus utama pengelolaan sampah selama G20.

"Tempat yang menjadi lokasi G20 dan sekitarnya serta empat daerah itu pengelolaan sampahnya harus baik supaya kita bisa bicara, bahkan bila perlu mereka (delegasi G20) datang melihat," kata Tito, saat mengunjungi TPST Kertalangu, pada September lalu.

Tito menyampaikan bahwa dalam pertemuan G20 akan ada pembahasan mengenai perubahan iklim. Oleh karena itu, pengelolaan sampah menjadi bagian penting. 

"Salah satu unsur penunjang perubahan iklim itu adalah masalah sampah, sampah yang tidak dikelola dengan baik, termasuk plastik, sampah-sampah yang bertebaran di laut, membuat ekosistem laut jadi rusak, terumbu karang, ikan-ikan besar, penyu mati, karena makan sampah plastik," ujar Tito.

Tito mengarahkan agar Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan menjadi fokus, karena dinilai sebagai daerah paling rentan dikunjungi. Sehingga jangan sampai terdapat sampah yang bertebaran di sepanjang jalan.

"Target kita bukan hanya G20, tapi benar-benar untuk rakyat, jangan sampai setelah G20 jelek lagi, sampah bertebaran lagi, saya harapkan setelah G20 sampah di Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan menjadi model yang kita replikasi ke daerah lain di Indonesia," kata Mendagri.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan dalam kunjungannya pada 31 Agustus 2022 telah memberikan penegasan bahwa sebelum pelaksanaan puncak G20, TPA Suwung harus segera ditutup. 
[cut]
cover | topik.id

Sebagai gantinya, pemerintah tengah mengembangkan tiga lokasi pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu  (TPST) di Denpasar yang sedang dalam proses pengerjaan untuk mengatasi persoalan sampah di wilayah pariwisata Bali umumnya. Nantinya, TPST ini menjadi percontohan terhadap 52 TPST lainnya di Indonesia.

Dalam perhitungan Menko Marinves, tiga TPST tersebut nantinya akan maksimal menangani pengolahan sampah di mana daya tampung TPST di wilayah Denpasar mencapai 1.020 ton sampah yang terbagi dalam tiga tempat yakni 450 ton di TPS Kesiman Kertalangu, 450 ton di TPST Taman Hutan Raya Ngurah Rai, dan 120 ton di TPST Padangsambian Kaja.

Tema pengolahan sampah menjadi penting dan mendesak karena sudah menjadi agenda penting presidensi Indonesia dalam G20 yang bernaung di bawah tema perubahan iklim, selain tema kesehatan yang inklusif dan transformasi berbasis digital. 

Forum G20 ini sangat strategis, karena forum ini secara global menguasai 60 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan dunia, dan 80 persen produk domestik bruto (PDB).

Negara-negara anggota G20 dinilai menyumbang 75 persen permintaan energi global. Oleh karena itu, negara-negara anggota G20 memiliki tanggung jawab yang besar dan strategis mendorong pemanfaatan energi hijau.
Apakah konten ini bermanfaat?
Dukung dengan memberikan satu kali kontribusi.

Share:
Berbasis data.
Paling diminati.

News Terkini
Lihat semua
Komentar
Login ke akun RO untuk melihat dan berkomentar.



Terkini

Indeks